Kembali redup penglihatanku ketika mata lelah
membelalak menatapi kesibukan jalan yang enggan berakhir, Semakin tajam
pikiranku mengingat maka makin jauh jalanku dari tujuan utamaku. Aku memang
sudah tua dalam hal ini, hampir dua tahun menggeluti hidup yang penuh keraguan
dan kebingungan . Tantangan, yahh, tantangan yang pertama aku patahkan di
jurusan Bahasa Inggris,
pertama kalinya aku meluncur membawa langkah yang baru kemarin aku pelajari, dengan terkatung-katung tapi, bukanlah masalah yang penting semangat dan keberanian untuk melangkah masih tetap membara.
pertama kalinya aku meluncur membawa langkah yang baru kemarin aku pelajari, dengan terkatung-katung tapi, bukanlah masalah yang penting semangat dan keberanian untuk melangkah masih tetap membara.
Hari ini, hari sebelum
setengah tahun menjelang satu tingkatan di bawahku, Egi, jurusan yang sama
denganku, berkacamata, rambut poni, dan
pakaian sederhana yang membaluti kelok tubuhnya, rapi, sopan dan anggun.
Seringkali membuat teman-temanku yang mata keranjang semberengeh dibuatnya. Muna kalo aku tidak mengatakan kami
“Wajar kalo dia mendapatkan pujian itu” support benakku membenarkan.
Egi adalah sosok yang cerdas, respect terhadap orang lain, tidak
sombong, namun tak semua orang tau dia
punya kepribadian yang yang super baik. Sayangnya, ia tidak pernah selektif
dalam berteman walaupun pada umumnya teman-temannya juga orang yang juga punya
otak “Core 2 Duo”, tapi tak semua diantara
mereka punya kepribadian yang sama seperti Egi.
“Berteman dengan mereka adalah
rasa hormatku, rasa hormatku adalah ketidaksombonganku, karena kesombongan itu
adalah wabah yang membunuh kita secara perlahan-lahan”. Cobaku mengingat sebait
kalimat yang dia ucapkan di koridor antara jurusan Bahasa Inggris dan gedung
Fakultas.
Perkenalan kami terbilang
sangat singkat, perkenalan kami yang hangat dan tak terlupakan, walaupun hanya
menyita beberapa menit, tapi kami sudah bisa sangat akrab.
“Ka’, ka’ Ukhi! Sapanya seraya menyadarkanku dari
lamunan yang sudah malangit .
“Eh, Egi, da ap? Tanyaku berusaha menghilangkan
perasaan kaget. Entah karena aku memikirkannya atau mungkin saja karena
sapaanya yang mendadak dari belakangku.
“Ga, cuman mo nanya sesuatu aja!
“Tapi..”
“Tapi kenapa?”
“Jangan tersinggung ya??”
“Katakan saja langsung, jamin I ga bakalan
tersinggung kecuali you ga mau cerita di depan para cecunguk ini” seraya
menunjuk ke arah Andi, Toni, Dede dan Surya.
“Mmm, entar aja ya aku ngomong ma kakak, dosen
Phonology keburu masuk tu”
“Ya,, udah, kalo gitu, tapi ketemuan di baruga aja
ya?’ seraya terus menatapi kepergiannya yang hingga lenyap dibalik pohon
beringin rindang itu.
Entah apa yang ada dalam
benakku, apa yang buat aku terus memikirkannya. Perasaanku seakan berkata ada
yang dia sembunyikan Egi, wajah tidak secerah biasanya, tapi… apa? “Kenapa juga
dia mau cerita ma I, bukankah dia punya teman yang lebih baik dari I?” Beberapa
menit berlalu, tapi aku masih penasaran. Apa yang harus aku lakukan, apa aku
harus ditemani oleh teman-temanku menemui Egi di baruga? “Ah,, ga perlu kale,
biar I sendiri aja kesana” tawarku dalam hati sekaligus mamantapkan..
Waktu di Handphoneku menunjukkan pukul 14 seperempat lewat beberapa detik.
Sudah sejam lebih aku belum juga beranjak dari tempat duduk di koridor itu,
namun akhirnya, aku menyerah juga, biasalah masalah klasik, jadi harus diisi
ulang biar lebih konsen, kan kalau kelaparan ga mungkin bisa konsen.
Selang beberapa menit
kemudian, kuliah Egi bubar, satu persatu teman sekelasnya berhamburan dari
mulut pintu ruangan kuliahnya. Evi, Ikha, Elzi, Novi, dan Anggel, satu persatu
nama mereka aku sebutkan bak seorang guru yang sedang mengabsen murid sekelas, tapi Egi belum juga
muncul-muncul dari balik daun pintu itu.
“Bukankah dia ikut tadi?”
Tanpa sadar kakiku melangkah
menuyusuri lorong di lantai dua gedung yang hanya bertingkat tiga itu. Tak
seorangpun yang terlihat kecuali Egi yang tertunduk, rambutnya menutupi
sebagian wajahnya, bahunya naik turun, tapi tak ada suara sedikitpun yang
terdengar. Perlahan aku mendekatinya, duduk di kursi yang bersebelahan dengan
kursi yang Ia tempati. Hening, tak satupun diantara kami yang bersuara, apa
yang terjadi?? Tanyaku dalam benak diantara kebisuan kami berdua.
“Gi?” Bukaku dengan nada rendah
“Seharusnya aku percaya kata-kata kakak,
seharusnya aku jauhi mereka”
“Maksud kamu apa sih Gi?’
“Aku hamil ka’”
Jantungku terasa berhenti
berdetak, membisu, tak merespon, entah kalimat apa yang pantas aku ucapkan,
hanya tiga kata, “andai aku bisa”, tapi bagaikan runtuhan bangunan beratus
tingkat menerpaku.
*****
Hari itu, kuliah perdana yang
membosankan di semester genap, tak banyak teman sekelasku yang datang. Bahkan,
teman seangkatanku yang datang hari itu seadanya saja. Dosen yang berkewajiban
memberikan kuliah juga ikut-ikutan bolos seakan telah membangun komitmen dengan
mereka yang juga tidak masuk kuliah. Pukul sembilan pagi tepat, tapi masih saja
jumlah mahasiswa tidak bertambah, justru sebaliknya, pelan tapi pasti, kampus
mulai kosong melompong.
Seperti biasanya, aku dan
teman-teman ngumpul di bawah pohon beringin
yang rindang dan sangat besar itu sambil diskusi. Tempat itu memang
ideal untuk istirahat, belajar atau asal ngumpul saja, disamping sudah tersedia
bangku dari susunan bata yang disemen, juga terdapat kantin yang menjajankan
kebutuhan mahasiswa di kampus itu.
Tak jauh dari tempat kami ngumpul, ada sepohon
lagi yang ukurannya tidak jauh beda dengan pohon yang menaungi kami. Ditempati
oleh beberapa orang yang sudah tidak asing lagi di mataku, hanya saja, mereka
saling membisu. Sibuk dengan buku dikte mereka masing-masing.
“Mereka
teman-teman sekelasnya Egi kan Ukhi’”
Tanya Surya diiringi lirikan kearah Evi, Ikha,
Anggel, dan Elzy ditambah teman-teman sekelasnya yang lain.
“Iya, mang kenapa you nanya itu ke I?”
“Kamu ga mau kesana, kale aja kamu bisa
mendapatkan salah satu dari bidadari-bidadari itu” Sambung Toni seraya
memalingkan wajah kearah Surya seakan mengejek keadaannya yang memang menjomblo,
bahkan aku jadi benar-benar merasa dilempari bata dengan kalimat itu, entah apa
respont Surya.
“Dasar,, tikus tanah” balasku dan meninggalkan
mereka menuju tempat para dara itu mangkal.
“Bukankah tadi yang pake baju pink dan rok jeans
biru itu Egi?” usahaku mengingat kembali dengan kerutan dahi. Langkahku tak
tertahan hingga aku benar-benar berada di depan mereka.
“Vi, ko’ Egi ga ngumpul bareng kalian, dia ga kuliah
hari ini? Tanyaku
“Tadi sih ada, tapi pergi lagi tau kemana! Balas
Evi dengan nada agak kesal.
Aneh, benar-benar aneh, tak
biasanya mereka tampak kesal seperti ini kalau aku menanyakan tentang Egi dan
tak biasanya dia meninggalkan teman-temannya tanpa sepengetahuan mereka kemana dia akan pergi. Apalagi Evi, teman
sekamar kosannya yang juga punya paras cantik, pintar, tapi sangat beda dengan
Egi, dia salah seorang dari orang yang paling selektif dalam berteman.
“Kalo dia datang suruh temui aku di kantin Mbak
Nur ya?”
Pintaku sambil berlalu meninggalkan mereka dan bergabung kembali
keteman-temanku yang lainnya. Tak pernah lepas dalam ingatanku kenapa Egi harus
pergi tanpa sepengetahuan sahabatnya sendiri. Kebisuanku buyar seketika tak
kala Yudha menanyakan perihal bencana apa yang menimpaku sehingga tampak tak
bersemangat.
“Tadi I nanya tentang Egi keteman-temannya tapi
mereka ga tau kemana rimbanya”
“lho! Ko’ cuman nanya ke mereka? Ga mau coba Tanya
ma kita-kita ini?
“mang apa peduli kalian dengan hal ini?”
Balasku sedikit jengkel.
Maklum, mereka orang yang tergolong tak pernah mau ambil tahu tentang orang
lain, mereka hanya bisa memikirkan diri mereka sendiri. Kalaupun mereka
pikirkan, itu hanyalah pikiran picik sang iblis yang bersarang dalam jiwa dan
bersembunyi di balik raga tampan mereka.
“kamu jangan berpikiran negative gitu dong Ukhi!
Gini-gini kami juga perhatian dengan teman-teman kami sendiri. Yah, walaupun
dimata kalian kami ini orang yang paling jail dan menjelngkelkan, tapi kami
juga punya hati ko’” cepis Yudha, hingga membuat wajahku merah bak buah cabe
yang siap panen, saking malunya aku kepada mereka yang bisa menerka alur
pikiranku ini.
“Mungkin dia lagi pergi ma Ningsih dkk, soalnya
tadi aku liat mereka jalan bareng. Kalo ga’ salah, anak yang sok keren itu juga
ikut!”
Sambung Juanda yang akrab kami
sapa Junto sejak SMA. Entah dari mana
datangnya julukan itu, tapi yang pasti dia salah satu anggota Geng Anarki alias Anak Kreatif Kaya Inspirasi” . Kelompok yang membesarkan nama
sekolah kami dulu, yahh, walaupun hanya segelintir dari kami.
Aku hanya diam mendengarkan
percakapan mereka. Kedengarannya seru, tapi aku tidak tertarik sama sekali
untuk menanggapinya apalagi sanggahan yang sering kali aku luncurkan tak kala
itu tidak sesuai dengan jalan pikiranku. Aku bagai tak ditempat itu, pikiranku
berjalan menyusuri setiap kelok jalan yang sering dilalui Elvin dan
teman-temannya.
“Mudah-mudahan apa yang
dikatakan Yudha itu ga benar, tapi kalaupun benar, mudah-mudahan sesuatu yang
buruk tidak menimpanya.” Gumamku dalam
hati seraya menuju kantin Mbak Nur yang tidak jauh dari lokasi kami ngumpul.
“Wey, pa kalian ga lapar?” sorakku memanggil
teman-teman Anarki. Team yang
mendewasakanku itu.
Belum lagi cukup sesuap mie pangsit masuk kedalam tenggorokanku,
dari kejauhan muncul sosok yang tak asing bagiku, didampingi teman-teman
barunya, gaya punk ala Rolling Stones. Mereka terlihat sangat akrab, seringkali tawa lebar
menghiasi pembicaraan mereka.
“Egi, bisa bicara sebentar ga?” pintaku dengan
suara agak keras agar bisa terdengar olehnya sejelas mungkin. Spontan saja dia
langsung berhenti, menatap teman barunya yang terus saja berlalu tanpa
menghiraukan teriakanku. Suatu kewajaran kan kalau mereka tidak berhenti, toh
mereka mang tidak suka dengan kami sebagaimana kami juga tidak menyukai mereka.
“Jaga jarak ma mereka Gi!”
“Kenapa? Mereka baik ko’ma aku!”
“Baik karena ada maunya, lagian you masih muda,
masih hijau and sangat mudah terpengaruh”
“Jangan vonis mereka begitu dong”
Pembicaraan yang ulet dan
panjang serta butuh tenaga besar
menjelaskannya kepada Egi agar bisa mengerti dan kalau bisa
dilaksanakan.
“Ini bukan demi kebaikanku Gi, tapi untuk you,
masa depan you, tapi kalo you mang ga mau tu terserah you ko’”
tutupku dengan wajah kesal, pembicaraan kami
selesai dan tak pernah ketemu lagi.
*****
Tanpa
sadar setetes air bening hangat menetes menyusuri kelok anak sungai di wajahku,
seakan ikut larut dengan keadaan yang menimpa Egi, mataku buram, hidung agak
tersumbat dan tenggorokan seakan mengering.
“Mereka sudah tau” tanyaku dengan suara parau
berharap Ia mau menjawabnya
Tak banyak yang aku tanyakan,
tak banyak pula yang aku harapkan, selama menanti jawaban, hanya sebuah
kepastian. Pikiranku terus melayang, menerka-nerka, menebak kemungkinan siapa
yang menjadi biang kerok dari semua ini.
“Kalaulah
Diam Itu Sebuah Jawaban, Apalah Arti
Sebuah Penjelasan.
Kalaulah
Perilaku Itu Sebuah Cerminan, Apalah
Arti Sebuah Pemaparan.
Kalaulah
Lirikan Itu Sebuah Panggilan, Apalah
Arti Sebuah Lambaian”.
:~
BalasHapus